Senin, 03 September 2012

poligami dan nikah siri menurut islam

POLIGAMI DAN KAWIN SIRRI MENURUT ISLAM

Poligami dan kawin sirri, sebuah istilah yang tak kunjung basi mewakili keadaan yang tak lekang dibahas hingga kini. Dengan perubahan keragaman jaman dan sudut pandang, hal yang satu ini menjadi tak bosan tuk dijadikan bahan pembicaraaan. Berikut kami share sebuah tulisan yang diambil langsung dari Note sahabat kami di FB, Gus Im (Imam Puji Hartono), yang mana tulisan ini Beliau dokumentasikan dari hasil karya dari Ustadz Quraish Shihab tentang Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam. Tulisan yang diambil dari makalah beliau pada Semiloka Sehari “Poligami di Mata Kita” yang diselenggarakan di Denpasar tahun 2007 lalu. Semoga menjadi tambahan referensi dan penjelasan dari informasi yang selama ini kita dapatkan tentang poligami dan kawin sirri menurut Islam. Selamat Membaca.
POLIGAMI DAN KAWIN SIRRI MENURUT ISLAM
Oleh : M. Quraish Shihab

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Cinta (mawaddah), Rahmah (kondisi psikologis yang muncul di dalam hati untuk melakukan pemberdayaan), & Amanah (ketenteraman).
PENDAHULUAN
Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup pologini yakni “sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, di mana seorang wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki.
Poligami dalam kedua makna di atas dahulu kala dikenal oleh masyarakat umat manusia, tetapi kemudian agama dan budaya melarang poliandri dan masih membuka pintu untuk terlaksananya poligami.
Makalah ini akan membahas poligami secara terbatas, bukan poliandri, bukan saja karena secara umum orang memahami kata poligami dalam arti terbatas itu, tetapi juga karena poliandri tidak dikenal dalam masyarakat beradab, apalagi masyarakat Indonesia.
Poligami dahulu dilakukan oleh banyak lelaki terhormat, serta diterima tanpa menggerutu oleh perempuan-perempuan yang dimadu. Sementara orang berkata bahwa poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan lelaki atas perempuan. Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena sejarah umat manusia pun pernah mengenal dan membenarkan sistem poliandri. Will Durant sejarawan Amerika dalam bukunya The Lesson of History menunjuk antara lain Tibet, sebagai lokasi maraknya poliandri. Nah apakah ini berarti bahwa di sana terjadi dominasi kekuasaan perempuan atas lelaki?
Ternyata tidak! Kondisi perempuan di Barat pada abad-abad pertengahan tidak lebih baik – kalau enggan berkata lebih buruk — daripada kondisi perempuan di Timur, sebagaimana diakui oleh penulis-penulis Barat yang objektif. Namun demikian, mengapa poligami di Barat tidak semarak di Timur? Jadi, masalahnya bukan akibat penindasan lelaki atas perempuan, apalagi bukankah sekian banyak perempuan yang dijadikan isteri kedua atau ketiga, justru secara sadar dan suka rela bersedia untuk dimadu ? Seandainya mereka – dahulu atau kini – tidak bersedia, pasti jumlah lelaki yang berpoligami akan sangat sedikit.
Agaknya poligami marak pada masa lalu karena “nurani” dan rasa keadilan lelaki maupun perempuan tidak terusik olehnya. Kini “rasa keadilan” berkembang sedemikian rupa akibat maraknya seruan HAM dan persamaan gender, sehingga mengantar kepada perubahan pandangan terhadap banyak hal, termasuk poligami. Apalagi, ketergantungan perempuam kepada lelaki tidak lagi serupa dengan masa lalu akibat pencerahan dan kemajuan yang diraih perempuan dalam berbagai bidang.
POLIGAMI & AGAMA-AGAMA
Secara umum dapat dikatakan bahwa poligami pada dasarnya dibenarkan oleh agama-agama. Dalam Perjanjian Lama – misalnya disebutkan – bahwa Nabi Sulaiman memiliki tujuh ratus isteri bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-4). Nabi Ibrahim juga berpoligami, paling tidak beliau memiliki dua orang isteri. Gereja-gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad XVII atau awal abad XVIII. Ini karena tidak ada teks yang jelas dalam Perjanjian Baru yang melarang poligami. Bahkan, kalau kita menyatakan bahwa dalam Perjanjian Lama poligami dibenarkan, terbukti antara lain dengan apa yang dikutip di atas, sedang Nabi Isa As. tidak datang untuk membatalkan Perjanjian Lama, sebagaimana pernyataan beliau sendiri (Baca Matius V-17), maka itu berarti beliau juga membenarkannya.
Sekian banyak alasan logika yang dikemukakan oleh para pendukung poligami menyangkut bolehnya poligami. Mereka berkata “Perbandingan jumlah lelaki dan perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak, baik karena kelahiran dan ketangguhan wanita menghadapi penyakit, maupun karena dampak peperangan yang mengakibatkan banyaknya lelaki yang gugur”.
Di sisi lain, kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang dapat terjadi bagi siapapun? Ketika itu, apakah jalan keluar yang diusulkan menghadapi kasus demikian? Bagaimana menyalurkan kebutuhan biologis seorang lelaki untuk memperoleh keturunan? Menahannya sehingga menimbulkan stess atau berhubungan gelap dengan perempuan lain, atau kawin secara sah (berpoligami) tetapi dengan syarat adil dan baik-baik? Tentu saja, alasan-alasan di atas dapat didiskusikan – sehingga bisa saja diterima atau ditolak – sesuai dengan pandangan dasar masing-masing atau agama dan budaya yang dianutnya.
ISLAM dan POLIGAMI
Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firman-Nya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisâ’[4}: 3 ).
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas: Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk ber-monogami dengan firman-Nya: “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Adalah wajar bagi satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat , untuk mempersiapkan ketetapan hukum bagi kasus yang bisa jadi terjadi satu ketika, walaupun baru merupakan kemungkinan.
Seandainya ayat itu berupa anjuran, pastilah Tuhan menciptakan perempuan empat kali lipat dari jumlah lelaki, karena tidak ada arti Anda – apalagi Tuhan – menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang memerlukannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. Tentu saja, masih bisa ada kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan dengan syarat yang tidak ringan itu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kondisi dan situasi apapun yang dibenarkan itu tidak mengandung makna anjuran berpoligami. Justru sebaliknya, tuntunan dan tujuan perkawinan dapat dinilai ajakan untuk tidak berpoligami, apapun kondisi dan situasi yang dihadapi oleh suami-isteri, sebagaimana akan disinggung nanti.
Kedua, firman-Nya “jika kamu takut” mengandung makna jika kamu mengetahui. Ini berarti siapa yang yakin atau menduga, bahkan menduga keras, tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, sayogianya tidak diizinkan berpoligami.
Kita tidak dapat membenarkan siapa yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa Nabi Muhammad Saw. kawin lebih dari satu, karena tidak semua yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Memang tidak jarang bagi yang menyandang tugas tertentu, memperoleh kelebihan-kelebihan, baik kewajiban maupun hak. Itu adalah konsekuensi dari tugas yang diemban. Belum tentu, apa yang terlihat sebagai keistimewaan dalam hakikat dan kenyataannya demikian. Perkawinan Nabi Muhammad Saw. dengan sekian banyak isteri jelas bukan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan seksual, karena isteri-isteri beliau itu pada umumnya adalah janda-janda yang sedang atau segera akan memasuki usia senja. Di sisi lain, perlu disadari bahwa Rasul Saw. baru berpoligami setelah isteri pertamanya wafat. Perkawinan beliau dalam bentuk monogami itu berjalan selama 25 tahun. Setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya isteri pertama beliau (Kahdijah) barulah beliau berpoligami (menggauli ‘Aisyah Ra). Beliau ketika itu berusia sekitar 55 tahun, sedangkan beliau wafat dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup ber-monogami, baik dihitung berdasar masa kenabian lebih-lebih jika dihitung seluruh masa perkawinan beliau. Jika demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? Mengapa juga tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon isteri yang telah/hampir mencapai usia senja?
Kendati penulis tidak sependapat dengan mereka yang ingin menutup mati pintu poligami, namun penulis menilai bahwa berpoligami bagaikan pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang tertentu.
Sementara orang melarang poligami dengan alasan dampak buruk yang diakibatkannya. Longgarnya syarat, ditambah dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang tujuan perkawinan, telah mengakibatkan mudhârat yang bukan saja menimpa isteri–isteri yang seringkali saling cemburu berlebihan, tetapi juga menimpa anak-anak, baik akibat perlakuan ibu tiri maupun perlakuan ayahnya sendiri, bila sangat cenderung kepada salah satu isterinya. Perlakuan buruk yang dirasakan oleh anak dapat mengakibatkan hubungan antar anak-anak pun memburuk, bahkan sampai kepada memburuknya hubungan antar keluarga. Dampak buruk inilah yang mengantar sementara orang melarang poligami secara mutlak.
Tetapi, perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk yang dilukiskan di atas adalah yang dilakukan oleh mereka yang tidak mengikuti tuntunan hukum dan agama. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu, apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. Di sini perlu disadari bahwa dalam masyarakat yang melarang poligami atau menilainya buruk, baik di Timur lebih-lebih di Barat, telah mewabah hubungan seks tanpa nikah, muncul wanita-wanita simpanan, dan pernikahan-pernikahan di bawah tangan. Ini berdampak sangat buruk, lebih-lebih terhadap perempuan-perempuan.
Di sini kalau kita membandingkan hal tersebut dengan poligami bersyarat, maka kita akan melihat betapa hal itu jauh lebih manusiawi dan bermoral dibanding dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat yang melarang poligami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar